Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

PENGUSAHA KAYA PEMUJA SETAN

Dunia Mistik
Dunia MistikKesaksian ini dituturkan oleh seseorang yang enggan disebut identitasnya. Dia berkisah tentang sepenggal pengalaman yang sangat menyeramkan, yakni bekerja di sebuah perusahaan garmen dengan seorang bos yang ternyata memuja setan. Seperti apa kisah lengkapnya…? Setelah sekian lama menumpang di rumah kerabat tanpa ada penghasilan, akhirnya sebuah perusahaan besar skala internasional (kata iklan yang mereka cantumkan di koran), berkenan menerimaku sebagai karyawan di bagian produksi. Wah senang sekali, sebab aku punya sedikit uang untuk memanjakan diri. Pintu besi gerbang besar perusahaan itu telah menyambutku kedatanganku di hari pertama masuk. Sambil menunggu waktu, kukelilingi area bangunan besar itu, sekalian melihat-lihat suasana gedung, pelataran parkir, gudang, serta satu bangunan tua yang menjadi bangunan induk tempat perusahaan besar ini menjalankan aktivitas bisnisnya. Di mataku, bangunan tua yang kumaksudkan tadi merupakan satu bangunan bergaya lama yang terletak di daerah kota tua, namun masih memperlihatkan sisi megah yang menyiratkan kejayaan masa lalu pemiliknya. “Pemiliknya pasti sangat kaya hingga dapat memiliki gedung besar yang hampir semegah museum ini. Aku yakin bangunan ini bisa menjadi satu warisan bersejarah yang telah dipakai secara temurun-temurun dari pemilik lama perusahaan ini kepada orang yang sekarang yang mewarisinya,” pikirku. Menurutku, bangunan bergaya klasik ini pastilah banyak menyimpan cerita. Atau bahkan peristiwa atas jatuh bangunnya bisnis keluarga kaya raya tersebut. Dan dalam suasana pagi yang cerah, aku sangat menikmati panorama bangunan tua ini. Namun aneh, tiba tiba sepertinya ada satu kekuatan lain yang menyergapku. Kirasakan seperti ada suara angin yang berhembus lembut, seolah-olah meniup daun telingaku. Sayup-sayup terdengar seperti suara desahan binatang buas di kejauhan yang terbawa angin. “Ada apa sesungguhnya?” batinku. Kedua mataku, masih terus asik menikmati bangunan tua yang pasti adalah karya Bangsa Belanda itu, sebab arsitekturnya memang bergaya Eropa. Sekilas, tampak gedung megah ini kurang terawatt. Jendela besar berkaca buram, kotor, begitu juga dengan koridor panjang yang melingkarinya. Semuanya terkesan kumuh serta sedikit agak angker. Bahkan, tangga ke lantai atas pun hanya disinari sebuah lampu neon yang cahanya mulai temaram. Tak sengaja, pandanganku tertuju pada salah satu jendela yang paling kusam di lantai empat. Entah ruangan apa di atas sana. Sepertinya, ruangan itu hanya disinari oleh cahaya redup lampu 10 watt. Seketika itu juga semua pandanganku seakan diselimuti oleh hal yang berbau mistis, seolah-olah ada sepasang mata yang sedang bergerak mengawasiku dari atas sana. “Mungkinkah penunggu gedung tua ini sedang mengawasi gerak-geriku,” bisiku dalam hati. Lalu, segera kuabaikan pikiran itu. Kumantapkan tekadku yang ingin bekerja untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidupku. “Tunggu sebentar lagi ya, Mas. Bos masih ada urusan. Mohon maaf agak lama menunggu.” Suara merdu wanita muda mengagetkanku. Rupanya, tidak terasa aku sudah satu jam lebih menunggu untuk mendapat giliran masuk wawancara. Ketika giliranku masuk, ternyata bos besar itu sedang menyantap makan siang dengan sangat rakusnya. Mulutnya dipenuhi makanan, kedua pipinya belepotan bumbu lauk-pauk, sementara kedua tangannya sibuk menyendok makanan dan memilah buah-buahan pencuci mulut yang ada di atas meja, seolah tak mempedulikan kehadiranku. Aku kembali terpana melihat caranya makan. Hampir menyerupai seekor binatang buas yang baru saja mendapat mangsa. Aneh, bukankah dia seorang bos besar yang memiliki perusahaan bertaraf internasional? Tapi mengapa cara makannya seperti orang kelaparan? “Ayo, silahkan duduk!” katanya menawariku. Lamunanku pun terputus. Dengan sungkan, aku segera duduk di depan meja kerjanya. Sambil mencuri-curi pandang, kucoba amati keadaan ruang kerja sang bos. Sungguh aneh, ruangan besar itu hampir dipenuhi oleh umbo rampe (sesaji) yang sudah kering. Bahkan, nampak buah-buahan sesaji yang mulai membusuk hingga airnya menetes mengotori dinding serta karpet lantai. Aneka kue jajanan menjamur diatas meja. Tampak juga beberapa dupa yang masih menyala hingga asapnya memenuhi tiap sudut ruangan. Tak hanya itu, pada dinding serta langit-langit ruangan bergelantungan aneka jimat hingga menambah keunikan ruang kerja ini. Kembali aku dibuat semakin takjub, manakala pandanganku mengarah pada sebuah patung besar setinggi hampir 2 meter yang dikelilingi banyak sesaji. Patung ini berdiri tegak disudut ruangan yang agak gelap. Aneh, siapakah laki-laki di depanku ini sebenarnya? Saat bertanya jawab denganku, ternyata si bos ini memiliki sebentuk wajah yang agak aneh. Matanya menyerupai mata iblis seperti di film film animasi, sementara kedua alisnya naik ke atas bak alis para pendekar silat. Saat tersenyum pun dia lebih mirip menyeringai daripada senyuman, sembari memperlihatkan deretan giginya yang kotor serta tidak terawatt, bahkan masih dipenuhi sisa sisa makanan. Sekalipun sangat aneh dan mengganggu pikiranku, namun aku terpaksa harus mengabaikan semua ini. Ya, demi mendapatkan sebuah pekerjaan! Singkat cerita, aku memang diterima bekerja di kantor tersebut…. Setelah beberapa lama bekerja, baru kusadari kalau aku sebenarnya cuma jadi umpan kawan-kawan sekantor yang enggan lembur pada setiap kamis malam atau malam Jum’at. Ada apa sebenarnya? “Hati hati dengan yang ada dilantai empat, Man!” bisik Larno, salah seorang teman sejawat yang baik padaku. Aneh, peringatan ini bukan hanya datang dari Larno. Bahkan Pak Ishak, penjaga malam di gedung ini juga telah memperingatkanku agar tidak mencoba-coba naik ke lantai empat sendirian apabila hari telah gelap. “Kamu pasti celaka, Nak!” tegasnya ketika aku meminta alasan larangan itu. Dia menambahkan, “Aku saja yang sudah 18 tahun bekerja disini tidak berani pergi kelantai empat sendirian, terlebih lagi malam hari. Mulanya, aku tak serius menanggapi cerita-cerita itu. Hingga suatu malam, terjadilah peristiwa itu…. Malam itu, jarum jam telah menunjukan pukul 19.30. Hampir seluruh ruangan telah kosong. Suasana mendadak senyap, bahkan kemudian berganti angker. Di luar sana angin berhembus kencang disertai deru hujan. Sendirian aku duduk terpaku di meja kerja ditemani dengan setumpuk tugas yang belum rampung. Aneh, tiba-tiba pikiranku melayang ke ruang sepi di lantai empat. Kulirik ruang sepi yang bersinar redup itu. Sepertinya, dari arah sana akan memunculkan satu bayangan, bahkan mungkin sesuatu yang mengerikan. Aneh, tiba tiba sekelebat bayangan wanita tua melintas. Aku segera bangkit mengejarnya. Kucoba berjalan menuju munculnya bayangan tadi. Tapi, aku tak menumukan siapa-siapa. Aku yakin telah melihat bayangan seorang nenek. Perempuan renta itu jalan tertatih tatih. Anehnya, dia menghilang di lorong gelap menuju lantai empat? Siapa gerangan perempuan tua berbaju kumal itu? Bukannya merasa takut, kejadian ini justeru membuatku semakin penasaran. Segera saja kutelusuri lorong sepi yang terbentang panjang di depanku, sambil berharap sesosok nenek itu muncul lagi. Anehnya, tiba tiba terdengar suara perempuan sedang bercakap cakap di ujung koridor gelap ini. Siapa gerangan? Apa mungkin masih ada seorang staf wanita yang sedang menerima telepon? Ketika aku dalam kebingungan, jantungku nyaris copot sebab tiba tiba ada sebuah tangan yang merengkuh bahuku. Ketika aku menoleh, di hadapanku telah berdiri seorang wanita muda. Dia tersenyum dingin sambil menyodorkan segenggam kertas. “Mencari siapa, Mas?” tanyanya datar, disertai raut wajah dingin tanpa ekspresi. Aku diam tergugu. Wanita itu kembali berkata, “Tolong fotocopy semua dokumen ini. Bisa kan?” “Oh, tentu bisa!” jawabku pendek. Bulu kudukku meremang. Dalam hati aku bertanya, “Perempuan ini staff di bagian apa? Kok aku belum pernah melihatnya.” “Ini dokumen penting, tidak semua orang bisa tahu!” katanya lagi. Sambil berusaha menenangkan diri, aku menyahut, “Wah, kalau begitu saya jadi tahu dong, Mbak. Kan saya yang bantu fotocopynya!” “Ini cuma daftar nama orang yang disuruh berkorban di sini, sekalipun mereka menolak. Ah, kasihan sekali mereka!” katanya lagi. “Berkorban? Maksudnya untuk apa?” tanyaku, penasaran, sembari terus membolak balikan dokumen itu. “Darah mereka!” jawabnya dengan suara yang agak tertahan. Aku kaget bukan kepalang. Seketika pandanganku berubah gelap. Dan, ketika terang kembali, kulihat dia sudah menghilang. Lalu, sama-samar terdengar suara alunan pendek perempuan menyanyi dari arah lorong sepi ini. Segera kuambil langkah seribu, setelah lebih dulu melemparkan kertas yang disebut dokumen tadi. Kubanting pintu dengan kencang. Aku lalu terduduk di depan meja kerjaku sambil mengatur nafas yang memburu tak karuan. ***

0 komentar


Recent Comments